Namanya
abdul, abdul seorang anak yang cerdas, tegas, dan wajahnya tampan kelahiran
Lhouksumawe provinsi NAD. Seorang anak yang dulunya aku kenal sangat
menyebalkan, cuek dan penuh emosi dan merasa dirinya selalu benar tanpa
bertanya sesuatu hal tentang apa yang dilakukan dirinya kepada orang lain.
Sedangkan aku bernama Nabilah. Aku dikatakan orang adalah anak yang cuek,
serius dan terkadang bisa lucu dan jarang tersenyum, padahal ya.. menurutku
sendiri aku orangnya care walaupun terkadang juga cuek kalau lagi ngurusin
kerjaan yang banyak dan dikejar deadline seakan dunia milik sendiri. Serius,
hmmmm..kalau ini ada benarnya juga, tapi aku selipkan bahan bercandaan agar
tidak terkesan terlalu serius jadinya. Jarang tersenyum,..jelas saja aku tak
mau senyum duluan karena khawatir salah orang, maklum juga aku menggunakan
kacamata yang minusnya sudah mencapai 2. Dari penglihatanku ketika tidak
menggunakan kacamata sangatlah tidak mendukungku untuk bisa melihat orang dalam
jarak yang lebih dari 2 meter. Sampai juniorku bilang, “idih, kakak nih..awak udah senyum selebar mungkin tetap
aja kakak nunduk dan gak bales senyuman awak”,
tukas windy salah satu juniorku. “jelas aja kakak gak senyum dek, kakak kan gak pake kacamata. Kakak
pake kacamatanya waktu mau kuliah aja itu pun karena papan tulis dah gak
kelihatan lagi apa bacaannya”, jelasku kepadanya sambil tersenyum diawal
penjelasan tentang kekuranganku.
Aku
masuk organisasi di dalam kampus dan di luar kampus dan aku temukan sesosok
laki-laki yang super cuek itu tergabung di dalamnya. Aku tadinya belum
mengenalnya dengan baik. Setelah 1 tahun aku berkecimpung di organisasi luar
kampus dan dia adalah ketua departemennya. Terus terang saja aku juga
mendapatkan posisi sebagai seorang sekretaris juga di organisasi di dalam
kampus, dengan ketua yang berbeda yaitu teman satu jurusan dan satu angkatan
denganku. Dua posisi yang strategis, namun aku lebih menguasai dan tertarik
dengan amanah yang ada di dalam kampus karena sesuai dengan keahlianku sedangkan
di luar kampus, aku mendapat amanah yang sama sekali tidak aku sukai. Dari dua
amanah tersebut, jelas aku tidak bisa memegang keduanya karena bisa merusak
kepengurusan ketika berjalan. Aku memutuskan memilih salah satunya agar bisa
berjalan maksimal. Sedangkan di dalam kampus aku meminta kepada Dewan Pembina
agar aku diangkat sebagai anggota saja yang bisa juga memberikan kontribusi
yang sama porsinya, walaupun peranku tidaklah terlalu besar.
Di
awal kepengurusan bersama dengan ketua yang satu itu, si Abdul aku sangat
berang melihatnya karena kecuekannya denganku yang aku juga tidak mengerti mau
jadi apa ketika ketua dan sekretaris selalu berantam
atau bertengkar. Setiap hari, ada saja kelakuannya yang membuatku jengkel,
marah dan kalau lagi kesal sms dan telponnya tidak pernah aku hiraukan apa yang
dikatakannya, itu salah satu sifat kekanak-kanakan ku yang buruk.
Seiring waktu
berjalan, aku ibarat sahabat baginya. Setiap saat selalu sms-an terkadang
membahas tentang persiapan rapat, persiapan program kerja yang akan berlangsung
dan terkadang ngalur ngidul entah ke
arah mana. Aku juga mendapat julukan darinya yaitu tomat dan aku juga julukin
dirinya melon. Tadinya aku gak pernah suka dan menerima kehadiran yang namanya
melon Karena rasanya hambar dan menurutku ya.. memang tidak enak, tapi aku suka
tomat karena bisa dibuat jus ala nabilah dengan di rendam dengan air panas,
dikupas kulitnya dan di beri gula pasir sedikit, akan terasa lebih
yummmi…serrr.
Karena aku dan
abdul setiap harinya selalu
berkomunikasi apapun itu, kalau satu hari saja tidak ada sms-an dan bertengkar
seperti ada yang kurang rasanya. Lama kelamaan aku memiliki rasa padanya karena
intens untuk berkomunikasi dan satu sama lain sudah mengetahui jelas
karakternya masing-masing dan sudah bisa mengontrol emosinya masing-masing.
Abdul yang tadinya cuek yang membuatku berang selalu ketika berhadapan
dengannya, kini menjadi seseorang yang sangat menyenangkan bagiku karena aku
punya teman yang mengerti keadaan diriku. Di lain tempat ternyata aku
mengetahui hal yang sama dari temanku yang juga laki-laki, ia mengatakan bahwa
abdul sampai curhat kepada temannya Cipto bahwa dirinya juga memiliki hati juga
padaku dan temanku pada saat itu Handi ada disana pada saat abdul bercerita
panjang lebar. Langsung saja si Handi mengintrogasi diriku, “ada apa dengan
kalian?, dan aku pernah membaca sms dirimu di hpnya abdul pada saat aku
meminjam hpnya yang abdul memanggil dirimu dengan sebutan tomat dan dirimu
memanggil abdul dengan sebutan melon. Sontak, hatiku mengatakan “tidak ada
apa-apa dan perasaan apa-apa yang terjadi antara kami berdua, kami hanya
berteman dan sebagai seorang ketua dan sekretis biasa saja. Di luar dari amanah
ya, hanya komunikasi biasa aja sebagai seorang teman dan gak lebih. Dag..dig..dug
ser, akhirnya masalah ini pun berakhir dengan adanya konfirmasi dari ku dan
dari abdul.
4 tahun kemudian...
Aku sudah
merantau di kota lain, sedangkan abdul aku tak tahu kabarnya lagi karena
selepas tidak menjabat di departemen yang sama komunikasiku pun sudah tidak ada
lagi ke abdul begitu juga sebaliknya. Aku mendapatkan studi S-2 di UGM untuk
jurusan Fisika Nuklir dengan banyak kegiatan kuliah dan mengajar juga.
Alhamdulillah aku mengajar Science SD dan SMP di Pesantrennya Ustadz Yusuf
Mansyur yang ada di Yogyakarta. Karena kesibukanku yang padat, aku sempatkan
jalan-alan ke toko buku dan terkadang ke rumah teman untuk Silaturrahim.
Ahad pagi, aku
berencana mengelilingi Malioboro untuk mencari beberapa keperluan. Dari
kejauhan aku melihat sosok seseorang yang aku kenal wajah dan suaranya. Dia
sedang asyiknya menikmati berbagai kerajinan tangan dan sambil juga menikmati
santapan yang khas ala Yogya yaitu Sego
kucing. Langsung saja aku menghampirinya dan menyapanya, “ehem ehem,
assalamu’alaikum ustad lagi ngapain dan sejak kapan ada disini?” Tanya ku
kepadanya dengan wajah tersenyum karena bertemu saudara satu kampung di
Yogyakarta. Obrolanku dan abdul panjang karena sudah lama tidak bertemu dan
kami pun saling bertukar nomor Hp karena tidak lagi menggunakan nomor yang
lama.
2 minggu
kemudian ada telpon masuk yang aku tidak mengenal siapa yang menelpon karena
nomornya tidak ada di list kontak.
“Assalamu’alaikum, apakah ini dengan Nabilah”,
suaranya dari kejauhan menyapa diriku.
“Ia benar, maaf ini siapa ya? Tanyaku tentang
kejelasan siapa yang sedang berbicara denganku.
“Saya Abdul dari
Medan”, jawabnya.
“Oh Abdul, bagaimana kabarnya, sudah dimana
sekarang dan bagaimana kabar keluarga di Medan?”, Tanyaku panjang padanya.
“Wah, banyak sangatlah pertanyaan nabil ini”,
jawabnya.
“hehe”, sambungku.
Setelah lamanya basa-basi dengan kabar dan
lain hal tentang aktivitas, abdul mulai berbicara serius dengan nada suara yang
serius tanpa ada candaan lagi.
“Nabil, saya boleh bertanya sesuatu pada
dirimu?, tapi kamu harus menjawab pertanyaan saya ya?”, tanyanya.
“Ok boleh, kalau
pertanyaannya perlu jawaban saya akan menjawabnya, jika tidak ya… saya juga
tidak bisa memberi jawaban pada dirimu” jawabku masih dengan bercandaan juga.
“Apakah kamu
sudah siap menikah? Apakah kamu sudah punya calon dan sudah punya ikatan dalam
waktu dekat ini?”, tanyanya.
Wah, jantungku terasa mau copot karena digilir
dengan pertanyaan yang seperti halilintar menyambarku dan secara bergiliran
menyerangku.
“ eeee, mau tau banget atau mau tau aja?”
Candaku lagi.
“ Mau tau banget”, jawabnya.
“ Saya jawab
ya.., saya sudah lama mencari pendamping hidup melalui teman dan ustadzah,
namun belum ada jawaban sampai sekarang. Entah kendala apa itu yang ada. Jadi
pertanyaan kamu sudah saya jawab semuanya sekaligus”.
“Alhamdulillah,
syukurlah kalau begitu”.
“Ada apa rupanya?”, Tanya ku polos.
“Berarti sasaran
saya bisa langsung di tembakkan ke arah yang dituju ya”? Tanyanya lagi.
“Maksud kamu?”
“Saya ingin
segera menyempurnakan separuh dien ini, namun permaisuri hatiku ini masih
berlabuh di dalam hati saja. Saya belum bisa mengatakan perasaan sebenarnya
pada orang yang tepat. Saya sedang mecari Ibu dari anak-anak saya nantinya dan
sampai sekarang, saya belum bertemu dengannya dan merancang masa depan.
Mendengar ungkapan status kamu itu, bersediakah kamu, jika saya datang ke rumah
untuk melamar”? tanyanya dengan penuh semangat membara dan to the point pada
sasaran.
“Hemmmmmmmmmm,
kasih tau gak ya?? Hehe”, jawabku yang tidak serius juga.
“Kasih tau donk”,
sambutnya.
“Baiklah, kalau
benar-benar penasaran, saya akan menerima seseorang dengan beberapa persyaratan
: dia harus hafal 2 juz ayat Al-Qur’an, pekerjaannya tetap, bersedia untuk
membina keluarga agar menghafal al-Qur’an dan juga menggunakan kaca mata. Itu
syarat dari saya”.
“Alhamdulillah,
syarat-syarat yang kamu ajukan sudah ada di diri saya”. Dari kejauhan, wajahku
tersenyum dan di dalam hati bersyukur dengan mengucapkan Alhamdulillah.
“Jadi bagaimana neng, jawabannya?”.
“Hemm hemmm”, aku seakan kehabisan kata-kata
karena semua syaratnya sudah dipenuhinya dan aku tidak ada kata untuk
menolaknya lagi, apalagi aku juga pernah ada hati ke abdul..aku diam beberapa
lama.
Dan abdul
kembali bertanya, “bagaimana bil? Apakah kamu tidak suka pada saya atau ada hal
yang tidak kamu suka dari saya? Atau jawab diammu menandakan setuju untuk
lamaran saya?”.
“Hemmmmm”, hela napasku panjang. “iya
Alhamdulillah saya tidak bisa……..”,
“tidak bisa menerima lamaranku bil? Apa yang
salah dengan saya?”, jawabnya langsung cerocos tanpa ada spasi dan memberikan
peluang untukku menyambung perkataanku.
“Saya belum
selesai bicara, kamu semangat banget sih…”
“Saya tidak
bisa………..”, aku memberikan jeda agar ia semakin penasaran lagi.
“Tu kan.. kenapa
berhenti? Serius donk bil”.
“Ok, oke, saya
tidak bisa…untuk… menolak kamu abdul, jujur saya pernah ada hati ke kamu dan
tidak ada alasan saya untuk menolak dirimu karena semua persyaratan bisa kamu
penuhi” jelasku padanya.
“Alhamdulillahi
robbil ‘alamin..”, suara yang lantang dan sangat senang itu kembali aku dengarkan
dari kejauhan dan beberapa menit aku tidak mendengar suaranya lagi karena
ternyata ia melakukan sujud syukur atas jawaban yang aku sampaikan. Obrolan
semakin serius dengan pembahasan yang serius pula merancang masa depan bersama.
Seminggu setelah itu, keluarganya datang ke rumahku dan membahas lamaran dan
persiapan akad nikah dan resepsi. Orang tuaku tidaklah orang yang terlalu suka
bermewah-mewahan karena mereka sudah mengerti apa yang diajarkan oleh
Rasullulloh SAW.
Setelah akad
nikah, aku dan abdul banyak bercerita karena sudah lama tidak berkomunikasi
semenjak lulus kuliah dan ternyata ketuaku adalah suamiku…oho..oho..oho.
bercerita masa-masa kuliah, rapat dan tentang segala kelucuan dan
kekanak-kanakan kita di sampaikan dan menjadi pengisi suasana di hari-hari
kita. Tentang perasaan masing-masing yang dipendam dan semakin menambah
keromantisan. Alloh memberikan bukan apa yang kita minta tapi Alloh memberikan
apa yang kita butuhkan. Alloh tahu segala kebutuhan makhlukNya dan tahu kapan
itu pantas harus terjadi. Rancangan Alloh sangat mengagumkan dan mencengangkan.
Subhanallloh, walhamdulillah wa Allohu akbar.
0 Komentar